Total Tayangan Halaman

Sabtu, 14 Desember 2013

MAKALAH Ma’rifat : Dzu an – Nun al – Mishri

MAKALAH

Ma’rifat : Dzu an – Nun al – Mishri

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Tri Astutik Haryati, M. Ag







Disusun Oleh :
1.    Miftakhun Ni’mah ( 2031112007)
2.    Mahmud Shofi ( 2031112024)

JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2013
DAFTAR ISI
BAB IV PENUTUP

 

 

 


 



BAB I

PENDAHULUAN



1.1       LatarBelakang

       Pada era modern ini telah terjadi perubahan yang menyeluruh dari berbagai aspek kehidupan manusia atau lebih tepatnya “globalisasi”. Dari globalisasi tersebut, hampir seluruh isi lapisan dunia mengalami perubahan, baik perubahan yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif. Perubhan tersebut tidak lain dilakukan oleh manusia itu sendiri.
       Modernisasi yang dilakukan oleh orang Barat yang dikenal dengan Westernisasi menimbulkan berbagai dampak di setiap belahan dunia ini. Berdampak bagi berbagai aspek bidang kehidupan diantaranya dalam aspek ekonomi, aspek, sosial, aspek politik, aspek kebudayaan serta yang paling dirasakan dampaknya dalam aspek moral.
       Dalam kaitannya dengan moral, mahasiswa mempunyai peran penting untuk ikut serta dalam upaya mengembalikan tatanan moral bangsa sekarang kedalam tatanan moral yang lebih baik lagi. Dalam lingkup mahasiswa, perlu diketahui seperti apa moral ataupun akhlak yang baik menurut syari’at agama Islam yang telah ditentukan.
       Untuk itu, kita telah mengetahui pentingnya mengetahui, mempelajari serta mengaplikasikan akhlak yang baik yakni seperti halnya tasawuf. Dari hal tersebut penulis membuat makalah ini dengan judul “Ma’rifat: Dzun an – Nun al – Mishri” agar kita mengetahui apa saja yang ada dalam tasawuf.




1.2       RumusanMasalah

1.         Apa pengertian dari tasawuf?
2.         Siapa saja tokoh – tokoh bidang tasawuf?
3.         Bagaimana riwayat hidup Dzun an – Nun al – Mishri?
4.         Apa pengertian dari Ma’rifatolehDzun an – Nun al – Mishri?
5.         Bagaimana konsep dari Ma’rifatolehDzun an – nun al – Mishri?
6.         Bagaimana Dzu an – Nun al – Mishri memperoleh ma’rifat?
7.         Bagaimana landasan al – Qur’an dan Hadits dari Ma’rifat?
8.         Bagaimana peranan Ma’rifat bagi pembentukan akhlak mulia?

1.3       TujuanPenulisan

1.         Mengetahui hakikat tasawuf.
2.         Mengetahui riwayat hidup Dzun an – Nun al – Mishri.
3.         Mengetahui pengertian serta konsep Ma’rifat Dzun an – Nun al – Mishri.
4.         Mengetahui landasan dalam al – Qur’an dan Hadits.
5.         Mengetahui peranan Ma’rifat dalam pembentukan akhlak mulia.

1.4       MetodePenulisan

1.         Metode Literatur Studi
       Penyusun mencari dan mengumpulkan serta membaca buku-buku dengan baik sesuai tema dan judul.
2.         Metode Diskusi
       Berdasarkan data – data yang telah terkumpul, penyusun melakukan diskusi mengenai pokok – pokok yang akan dijadikan bahasan dalam makalah sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pengampu mata kuliah akhlak tasawuf.



BAB II

LANDASAN TEORI


2.1       HakikatTasawuf

       Arti kata dari tasawuf sendiri mempunyai beberapa makna yang berbeda, diantaranya:
1.      Shifa , artinya suci, bersih, ibarat kilat kaca.
2.      Shuf , artinya bulu domba. Dikarenakan orang yang bertasawuf menggunakan baju berbulu domba karena mereka tidaksuka memakai pakaian yang indah seperti pakaian “orang dunia” ini.
3.      Shuffah , ialah sekelompok sahabat Nabi yang mengasingkan dirinya di satu tempat terpencil disamping masjid Nabi.
4.      Shuffanah , yakni sejenis kayu yang tumbuh di padang pasir tanah Arab.
       Seperti itulah berbagai makna dari kata tasawuf dari segi etimologi. Sedangkan dari segi terminologi, pengertian tasawuf pun terdapat berbagai pengertian. Seperti halnya Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa, “Tasawuf adalah semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian didalam agama. Asalnya adalah bertekun ibadah dan memutuskan hubungan dengan segala sesuatu selain Allah, hanya menghadap Allah semata.menolak hiasan – hiasan dunia serta membenci perkara – perkara yang menipu orang banyak, kelezatan harta benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”. Sedangkan menurut Imam al – Junaid mengatakan bahwa “Tasawuf ialah keluar dari budi yang tercela dan masuk kepada budi yang terpuji”.[1]

2.2       Tokoh – tokoh Tasawuf

       Diantara tokoh – tokoh di bidang tasawuf yakni:
1.      Rabi’ah al – Adawiyah.
2.      Dzu an – Nun al – Mishri.
3.      Abu Yazid al – Busthami.
4.      Al – Hallaj.
5.      Al – Ghazali.
6.      Ibnu ‘Arabi.
7.      Al – Jilli.
8.      Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar – Raniri, dll.

BAB III

PEMBAHASAN



3.1       RiwayatHidupDzun an – Nun al – Mishri

       Dzun an – Nun al – Mishri mempunyai nama asli Abu al – Faid Tsauban bin Ibrahim. Mengenai tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, namun menurut Taftazani seperti yang dituliskan dalam bukunya, Dzun an – Nun al – Mishri lahir pada tahun 155 H/770 M(w. 245 H/860 M) di kawasan kota Mesir yakni kota Ekhmim/Akhmim.[2]
       Dzun an – Nun al – Mishri adalah seorang laki-laki kurus, badannya cenderung memerah, dan jenggotnya tidak putih.[3] Dalam kehidupannya,  Dzun an – Nun al – Mishri dikenal sebagai orang yang rendah hati dan dermawan, berkemauan keras dan berbudi pekerti baik. Beliau merupakan orang pertama di Mesir yang pertama kali membicarakan tentang maqamat dan hal para sufi. Beliau pula sufi pertama yang menonjol serta pendapat – pendapatnya paling terkenal dalam membicarakan ma’rifat. Dari sinilah maka ia sering disebut sebagai bapak ma’rifat.[4]
       Selain dikenal sebagai seorang sufi, Dzun an – Nun al – Mishri juga dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang kimia, logika dan filsafat. Guru beliau dalam bidang kimia yakni Jabir Ibn Hayyan dan dalam bidang tasawuf ia berguru kepada Syaqran.[5]
       Dzun an – Nun al – Mishri mempunyai kemampuan yang menonjol dalam memecahkan rumus – rumus tulisan Hieroglif dan menguasai ilmu – ilmu sihir. Hal itu dikarenakan di kota kelahirannya banyak terdapat gereja daripada masjid serta kepercayaan masyarakat setempat terhadap mitos – mitos dan ilmu sihir yang tertulis dalam tulisan Hieroglif Mesir Kuno.

3.2       Pengertian dan Konsep Ma’rifat Dzun an – Nun al – Mishri

       Secara etimologi, ma’rifat berarti pengetahuan atau ilmu yang diperoleh melalui akal. Dalam tasawuf, ma’rifat diartikan mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.[6] Menurut Abdul Qadir, ma’rifat  adalah mengenal Allah dengan jalan musyahadah qalbiyah(menyaksikan dengan hati sanubari) yang merupakan pengetahuan yang benar, dialami oleh para shufi sehingga memperkuat pengenalan fitriyahnya yang ada dalam hati.[7]
       Ma’rifat menurut Dzun an – Nun al – Mishri seperti yang dikatakan:
Ma’rifat yang sebenarnya ialah, bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasalah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur di dalam kekuasan-Nya, mereka merasa bahwa mereka berbicara dengan ilmu yang diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.”[8]
       Dzun an – Nun al – Mishri dipandang sebagai bapak faham ma’rifat.[9] Beliau memperkenalkan konsep baru tentang ma’rifat: (1) Pembedaan antara ma’rifat shufiyah dengan ma’rifat ‘aqliyah. (2) Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati). (3) Teori – teorinya tentang ma’rifat menyerupai gnosisme model Neo-Plantonik.
       Ma’rifah menurut al – Mishri terbagi menjadi tiga macam, yaitu (1) Ma’rifah orang awam, (2) Ma’rifatpara teolog dan filosof, (3) Ma’rifatparaawliya’. Tingkatan ma’rifat yang ketiga merupakan tingkatan tertinggi dan meyakinkan, karena diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi melalui ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambanya. Sehingga akan mengenal Tuhannya melalui Tuhannya. Menurutnya, ma’rifat itu bukan maqam, tetapi hal, yaitu suatu sikap mental yang diperoleh semata-mata karena karunia Ilahi. Ketika Dzu an – Nun al – Mishri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab:
عَرَفْتُ رَبِّيْ بِرَبِّيْ وَلَوْلَارَبِّيْ لَمَا عَرَفْتُ رَبِّيْ
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan”.
       Untuk memperoleh ma’rifat, ada alat yang digunakan oleh para sufi yaitu qalb(hati). Adapun hati disini berbeda dengan hati (heart) dalam bahasa Inggris, karena qalb merupakan alat untuk merasa sekaligus alat untuk berfikir. Beda qalb dengan akal adalah akal tidak dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb dapat digunakan untuk mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, dapat mengetahui rahasia – rahasia Tuhan.[10]
       Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia – rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan. Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.[11]
       Dzun an – Nun al – Mishri menjelaskan lagi bahwa untuk mencapai kepada Allah ( ma’rifat ) terdapat empat syarat, diantaranya : 1) mencintai Allah dan Rasul-Nya, 2) membenci yang bersifat materi, 3) mengikuti petunjuk Allah, 4) takut akan berubah.[12]

3.3       Ma’rifatdalamPandangan al – Qur’an danHadits

       Pada intinya ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia – rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al – Qur’an, kurang lebih dapat dijumpai 43 kali kata nur yang diulang dan sebagian besar berhubungan dengan Tuhan.[13]
Seperti bunyi ayat berikut ini:
`tBuróO©9È@yèøgsª!$#¼çms9#YqçR$yJsù¼çms9`ÏBAqœRÇÍÉÈ
Dan Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun.(QS. al-Nur, 24:40).
       Dan terdapat pula dalam ayat yang berbunyi:
`yJsùr&yyuŽŸ°ª!$#¼çnuô|¹ÉO»n=óM~Ï9uqßgsù4n?tã9qçR`ÏiB¾ÏmÎn/§4ÇËËÈ
22. Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (QS. al-Zumar, 39:22).
       Kedua ayat diatas membicarakan mengenai cahaya Tuhan. Cahaya tersebut dapat diberikan oleh Tuhan kepada siapapun hamba-Nya yang Dia kehendaki. Ma’rifat kepada Allah yang diperoleh oleh seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat mungkin terjadi dalam Islam serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an.[14]
       Selain terdapat dalam surat – surat al - Qur’an , dapat kita jumpai pula dalam Sabda Rasulullah yang berbunyi:

كُنْتَ خَزِيْنَةً خَا ِفيَةً اَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلقْتُ اْلخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِيْ
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (Hadits Qudsi).
       Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Yakni dengan cara mengenal dan meneliti ciptaan-Nya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ma’rifat dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[15]

3.4       Peranan Ma’rifat dalam Pembentukan Akhlak Mulia

       Menurut Dzu al – Nun al – Mishri, tujuan pencapaian ma’rifat oleh para sufi adalah untuk meningkatkan nilai kemanusiaan seoptimal mungkin, yakni dengan berhiaskan akhlak Allah. Dzun al – Mishri juga menghubungkan antara ma’rifat dan syari’at. Dalam hubungan tersebut menurutnya tanda seorang arif ada tiga, yaitu: 1) cahaya ma’rifatnyatidak memadamkan cahaya kerendah hatiannya, 2) tidak mengukuhi secara bathiniyah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriyah dan 3) nikmat Allah yang banyak tidak menggiringnya untuk melanggar batas – batas larangan Allah. Dari tanda – tanda tersebut pada intinya mengacu pada profil seorang sufi yang memiliki akhlak tinggi, yaitu akhlak Ilahiyah.
       Ma’rifat sangat berperan dalam pembentukan akhlak mulia. Seperti seseorang yang arif akan semakinkhusyu’ jika dalam setiap pengenalan dan pendekatan terhadap Allah selalu meningkat. Penjelasannya yakni seseorang yang telah mengenal serta dekat terhadap Allah atau telah ber-ma’rifat maka ia akan semakin khusyu’ dalam beribadahnya. Seseorang yang setiap harinya semakinkhusyu’ dikarenakan seseorang tersebut setiap harinya pula selalu dekat dengan Allah. Dan seorang arif tidak hanya konsisten terhadap satu kondisi saja, akan tetapi ia akan konsisten dengan Tuhannya dalam setiap kondisi.[16]
       Ahmad bin Atha’ berkata, “Ma’rifat  itu ada tiga rukun: takut pada Allah, malu pada Allah, dan senang pada Allah.”[17] Dari penuturan tersebut merupakan suatu proses dalam pembentukan akhlak mulia yang dimana orang yang ma’rifat  akan merasa bahwa Allah itu dekat dan selalu mengawasi dirinya dan berakhlak buruk merupakan suatu perbuatan yang sia-sia.

BAB IV

PENUTUP


4.1       Simpulan

       Nama lengkapDzun an – Nun al – Mishri adalah Abu al – Faid Tsauban bin Ibrahim. Dzun an – Nun al – Mishri lahir pada tahun 155 H/770 M(w. 245 H/860 M) di kawasan kota Mesir yakni kota Ekhmim/Akhmim. Konsep ma’rifat Dzun an – Nun al – Mishri diantaranya:(1) Pembedaan antara ma’rifat shufiyah dengan ma’rifat ‘aqliyah. (2) Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati). (3) Teori – teorinya tentang ma’rifat menyerupai gnosisme model Neo-Plantonik.
       Ma’rifat mempunyai peranan penting dalam membentuk akhlak yang mulia bagi setiap jiwa manusia. Manusia yang selalu mendekat terhadap Allah maka ia akan semakin khusyu’ dalam mendekatkan dirinya terhadap Allah.














DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihon, dkk. 2002. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
As, Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ashfihani, Abu Na’im Ahmad bin Abdullah al –. Hillatu Auliya’ wa Thabaqat al – Asyfiya’. Beirut: Dar al – Fikr.
Baqo, Muhammad Fu’ad Abd al-. 1987. Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr.
Hamka. 1983.Tasawuf Modern.Jakarta: Pustaka Panjimas.
Mahmud, Abdul Qadir. 1967.Al-Falsafah al-Shufiyah fi al-Islam.Cairo: Dar al-Fikr.
Nasution, Harun. 1992. Filasafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Nicholson, R.A. 1969. Fi Al-Tasawuf al-Islami wa Tarikhihi, diarabkan Abul ‘Ala ‘Afifi, Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nayr. Cairo.
Sya’rani, ‘Abd al-Wahhab al-. 2003. Beranda Sang Sufi. Jakarta: Hikmah.
Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-. 1997. Tasawuf dari Zaman ke ZamanBandung: Pustaka.
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN-Malang Press.
Zuhri, Amat. 2008. Ilmu Tasawuf. Pekalongan: STAIN Press.
Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-.Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf . Jakarta: Pustaka Amani.




[1]Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas,1983), 2.
[2]Abul Wafa al – Ghanimi al – Taftazani,Tasawuf dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka, 1997. h. 97.
[3]Abu al-mawahib ‘Abd al-Wahhab, Beranda Sang Sufi, Jakarta: Hikmah, 2003. h. 238.
[4]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. h. 76; lihat juga Ensiklopedia Islam, jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. h. 84.
[5]Lihat Abu Na’im Ahmad bin Abdullah al – Ashfihani, Hillatu Auliya’ wa Thabaqat al – Asyfiya’, Jilid IX, Beirut: Dar al – Fikr, h. 331 – 332.
[6]Harun Nasution, Op. Cit. 1992. h. 75.
[7]Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah al-Shufiyah fi al-Islam, Cairo: Dar al-Fikr, 1967. h. 302.
[8]R.A. nicholson, Fi Al-Tasawuf al-Islami wa Tarikhihi, diarabkan Abul ‘Ala ‘Afifi, Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nayr, Cairo, 1969, h. 7.
[9]Harun Nasution, Op. Cit., h. 76.
[10]Harun Nasution, Op. Cit., h. 77.
[11]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 222.
[12]Abdul Halim, Dzun Nun, h. 49.
[13]Lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqo. al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 725-726.
[14]Abuddin Nata, Op. Cit., h. 229.
[15]Ibid., h.230.
[16]Abul Wafa al-Ghanimi, Op. Cit., h. 98.
[17]Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Jakarta: Pustaka Amani), h. 470.

0 komentar:

Posting Komentar